CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS

Sabtu, 10 Oktober 2009

Kapitalisme...

Sebuah aliran atau teori yang lebih mengedepankan akan adanya keberadaan modal sebagai alat untuk mengapresiakan diri. Keberadaaannya kini juga merambah bukan saja kepada bidang ekonomi namun juga hampir masuk dan berasimilasi dengan bidang lainnya.

Kapitalisme juga dapat menjadi suatu budaya di mana interaksi, komunikasi, plus kolaborasi berjalan dengan capital sebagai pusat orbit. Sesuatu bergerak atau tidak bergerak di seputar satu satu kata : KAPITAL. Kita berkompetisi untuk mengumpulkan, mengelola, dan menguasai kapital. Kita mengukur keberhasilan-keberhasilan kita dengan indikator-indikator kapitalisme. Kita berteman, bergaul dan saling membantu dengan motivasi-motivasi kapitalisme.

Hari ini, kapital ini bukan hanya seonggok keping emas, uang atau harta kekayaan. Dalam makna lebih luas, ada setidaknya 10 capital yang kita berkompetisi untuk meraihnya! Setidaknya ada 10 capital yang, somehow, yang kita jadikan bahan evaluasi, bagi aktivitas sehari-hari kita baik dalam belajar, sekolah, bekerja, berbisnis, ataupun berpolitik, dan bahkan dalam pergaulan kita sehari-hari.

Banyak pihak pihak yang mendukung diberlakukannya paham ini, karena diangap mampu untuk lebih meningkatkan produktifitas dan juga keefektifan serta efisiensi untuk lebih me-manusia-kan manusia secara umum. Namun tidak sedikit juga yang tidak menerima penerapan paham ini, bahkan melarang dan mengharamkan adanya paham ini untuk dilakukan karena dianggap tidak adil dan hanya dapat menimbulkan kesjahteraan didalam masyarakat.

Perdebatan terus bergulir bahkan juga memanas sehingga menimbulkan adanya pembagian kelompok antara kaum kapitalis yang menguasai modal dan kaum non-kapitalis,baik itu sosialis, komunis, dan lainnya yang secara jelas menolak keberadaan dari kapitalisme. Perbedaan yang timbul jelas karena kehidupan masyarakat yang kapitalis lebih baik daripada masyarakat non-kapitalis, mis; kehidupan masyarakat America secara ekonomi liberal dan kapitalis lebih baik daripada kehhidupan masyarakat di Rusia, yang cenderung lebih konservatif dan sosialis.

Memang tidak dapat dipungkiri kehidupan masyarakat yang menganut sistem kapitalis secara umum lebih baik, mis; USA, Singapura, UE, dll. Namun tidak sepenuhnya, walau mereka secara umum lebih baik, harus ditiru dalam segala hal. Beberapa budaya mereka tidak sesuai dengan kepribadian bangsa lainya. Budaya kaum kapitalis lebih condong kepada budaya barat yang memiliki banyak perbedaan dengan budaya timur. Kita bisa mengambil sedikit contoh dimana budaya barat lebih cenderung egoistik atau cuek dibandingkan dengan budaya timur yang lebih ramah dan kekeluargaan.

Budaya itu juga yang membuat paham ini terkadang sulit untuk diterapkan secara umum dalam kehidupan bermasyarakat. Kadang kala perbedaan itu banyak didiskusikan didalam panel kemasyarakatan kita. Isu-isu juga banyak timbul sebagai dampak begitu banyaknya persepsi yang hadir di dalam measyarakat mengenai hal tersebut.

Hal besar yang mungkin dapat kita lihat adalah bagaimana belakangan ini negara-negara yang menganut paham kapitalis cenderung untuk lebih lagi menguasai dunia. Mereka kemudian meluaskan sayap perekonomian mereka hingga hingga beribu mil atau malah hingga ujung dunia.

Dampak yang dihasilkan ialah adanya persaingan yang tidak seimbang antara negara kapitalis yang sudah maju dibanding negara non-kapitalis yang kehidupan perekonomiannya kurang kokoh. Selain itu dengan adanya “globalisasi”, yang kemungkinan besar akan terjadi ditahun yang akan datang, negara-negara tersebut bukan saja membawa sistem perkonomian mereka namun juga budaya mereka. Di kota-kota besar akan berdiri perusahaan multinasional yang kepemilikan sahamnya lebih besar dimiliki oleh kaum kapitalis dibandingkan oleh pengusaha dalam negeri. Toko-toko dengan brand terkenal yang selalu mengikuti trend luar negeri juga akan hadir sampai kepinggiran kota. Dari contoh diatas dapat kita lihat kapitalisme bukan saja akan berdampak secara luas dalam bidang perkonomian namun juga dalam bidang budaya secara khusus.

a. Defenisi dari Kapitalisme

Untuk membahas suatu permasalahan, ada baiknya kita terlebih dahulu mengetahui akar permasalahan tersebut. Untuk masalah kapitalisme, sebaiknya kita mengetahui lebih dahulu apa pengertian dari kapitalisme itu sendiri. Banyak pengertian yang diberikan atau diungkapkan para ahli mengenai kapitalisme. Defenisi dari kapitalisme itu antara lain;

Kapitalisme adalah sistem perekonomian yang menekankan peran kapital (modal), yakni kekayaan dalam segala jenisnya, termasuk barang-barang yang digunakan dalam produksi barang lainnya (Bagus, 1996). Ebenstein (1990) menyebut kapitalisme sebagai sistem sosial yang menyeluruh, lebih dari sekedar sistem perekonomian. Ia mengaitkan perkembangan kapitalisme sebagai bagian dari gerakan individualisme. Sedangkan Hayek (1978) memandang kapitalisme sebagai perwujudan liberalisme dalam ekonomi.

Menurut Ayn Rand (1970), kapitalisme adalah "a social system based on the recognition of individual rights, including property rights, in which all property is privately owned". (Suatu sistem sosial yang berbasiskan pada pengakuan atas hak-hak individu, termasuk hak milik di mana semua pemilikan adalah milik privat).

Heilbroner (1991) secara dinamis menyebut kapitalisme sebagai formasi sosial yang memiliki hakekat tertentu dan logika yang historis-unik. Logika formasi sosial yang dimaksud mengacu pada gerakan-gerakan dan perubahan-perubahan dalam proses-proses kehidupan dan konfigurasi-konfigurasi kelembagaan dari suatu masyarakat. Istilah "formasi sosial" yang diperkenalkan oleh Karl Marx ini juga dipakai oleh Jurgen Habermas. Dalam Legitimation Crisis (1988), Habermas menyebut kapitalisme sebagai salah satu empat formasi sosial (primitif, tradisional, kapitalisme, post- kapitalisme).

b. Sejarah kehadiran kapitalisme

Kapitalisme tentu tidak hadir dengansendirinya, selalu ada asal-muasal suatu perkara.Para ahli melalui pemaparannya mencoba untuk menjelaskan awal dari kehadiran kapitalisme itu sendiri. Robert E. Lerner dalam Western Civilization (1988) menyebutkan bahwa revolusi komersial dan industri pada dunia modern awal dipengaruhi oleh asumsi-asumsi kapitalisme dan merkantilisme. Direduksi kepada pengertian yang sederhana, kapitalisme adalah sebuah sistem produksi, distribusi, dan pertukaran di mana kekayaan yang terakumulasi diinvestasikan kembali oleh pemilik pribadi untuk memperoleh keuntungan. Kapitalisme adalah sebuah sistem yang didisain untuk mendorong ekspansi komersial melewati batas-batas lokal menuju skala nasional dan internasional. Pengusaha kapitalis mempelajari pola-pola perdagangan internasional, di mana pasar berada dan bagamana memanipulasi pasar untuk keuntungan mereka. Penjelasan Robert Learner ini paralel dengan tudingan Karl Marx bahwa imperialisme adalah kepanjangan tangan dari kapitalisme.

Sistem kapitalisme, menurut Ebenstein (1990), mulai berkembang di Inggris pada abad 18 M dan kemudian menyebar luas ke kawasan Eropa Barat laut dan Amerika Utara. Risalah terkenal Adam Smith, yaitu The Wealth of Nations (1776), diakui sebagai tonggak utama kapitalisme klasik yang mengekspresikan gagasan "laissez faire"1) dalam ekonomi. Bertentangan sekali dengan merkantilisme yaitu adanya intervensi pemerintah dalam urusan negara. Smith berpendapat bahwa jalan yang terbaik untuk memperoleh kemakmuran adalah dengan membiarkan individu-individu mengejar kepentingan-kepentingan mereka sendiri tanpa keterlibatan perusahaan-perusahaan negara (Robert Lerner, 1988).

Awal abad 20 kapitalisme harus menghadapi berbagai tekanan dan ketegangan yang tidak diperkirakan sebelumnya. Munculnya kerajaan-kerajaan industri yang cenderung menjadi birokratis uniform dan terjadinya konsentrasinya pemilikan saham oleh segelintir individu kapitalis memaksa pemerintah (Barat) mengintervensi mekanisme pasar melalui kebijakan-kebijakan seperti undang- undang anti-monopoli, sistem perpajakan, dan jaminan kesejahteraan. Fenomena intervensi negara terhadap sistem pasar dan meningkatnya tanggungjawab pemerintah dalam masalah kesejahteraan sosial dan ekonomi merupakan indikasi terjadinya transformasi kapitalisme. Transformasi ini, menurut Ebenstein, dilakukan agar kapitalisme dapat menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan ekonomi dan sosial. Lahirlah konsep negara kemakmuran (welfare state) yang oleh Ebenstein disebut sebagai "perekonomian campuran" (mixed economy) yang mengkombinasikan inisiatif dan milik swasta dengan tanggungjawab negara untuk kemakmuran sosial.

Habermas memandang transformasi itu sebagai peralihan dari kapitalisme liberal kepada kapitalisme lanjut (late capitalism. organized capitalism, advanced capitalism). Dalam Legitimation Crisis (1988), Habermas menyebutkan bahwa state regulated capitalism (nama lain kapitalisme lanjut) mengacu kepada dua fenomena: (a) terjadinya proses konsentrasi ekonomi seperti korporasi- korporasi nasional dan internasional yang menciptakan struktur pasar oligopolistik, dan (b) intervensi negara dalam pasar. Untuk melegitimasi intervensi negara yang secara esensial kontradiktif dengan kapitalisme liberal, maka menurut Habermas, dilakukan repolitisasi massa, sebagai kebalikan dari depolitisasi massa dalam masyarakat kapitalis liberal. Upaya ini terwujud dalam sistem demokrasi formal.

Perkembangan kapitalisme semakin massif paska Revolusi Industri di Inggris. Mulai abad 17, menyebar ke seluruh Eropa termasuk Amerika Serikat. Kapitalisme berkembang semakin meluas seiring dengan berkembangnya paham Liberalisme di Eropa dan Amerika Serikat. Negara-negara tersebut lantas menjajah sejumlah benua lain seperti Afrika dan Asia. Kolonialisme Belanda pun masuk ke Indonesia dan pemerintahan Kolonial Belanda pada abad 18 mengadopsi dan menerapkan Kapitalisme awal di Indonesia yang sampai sekarang telah berkembang sedemikian rupa. Namun kapitalisme, tidak seperti retorika dan janji-janjinya, bukannya membawa peningkatan kesejahteraan bagi seluruh rakyat melainkan pemiskinan yang semakin massif di berbagai belahan dunia berkembang.

  1. Kelebihan Kapitalisme

Suatu paham tentu mempunyai nilai lebih sehingga dapat diterapkan oleh masyarakat secara umum. Namun unsur-unsur apakah yang dikandung kapitalisme sehingga ia saat ini tetap tangguh? Terdapat beberapa kekuatan yang memungkinkan kapitalisme masih bertahan hingga kini melalui berbagai kritikan tajam dan rintangan.

Pertama, daya adaptasi dan transformasi kapitalisme yang sangat tinggi, sehingga ia mampu menyerap dan memodifikasi setiap kritik dan rintangan untuk memperkuat eksistensinya. Sebagai contoh, bagaimana ancaman pemberontakan kaum buruh yang diramalkan Marx tidak terwujud, karena di satu sisi, kaum buruh mengalami pembekuan kesadaran kritis (reifikasi), dan di lain sisi, kelas borjuasi kapital melalui negara memberikan "kebaikan hati" kepada kaum buruh dengan konsep "welfare state". Pada gilirannya, kaum kapitalis memperoleh persetujuan (consent) untuk mendominasi masyarakat melalui apa yang disebut Gramsci sebagai hegemoni ekonomi, politik, budaya; atau seperti yang disebutkan Heilbroner bahwa rezim kapital memiliki kemampuan untuk memperoleh kepatuhan massa dengan memunculkan "patriotisme" ekonomik.

Kedua, berkaitan dengan yang pertama, tingginya kemampuan adaptasi kapitalisme dapat dilacak kepada waktu inheren pada hakekat kapitalisme, yaitu dorongan untuk berkuasa dan perwujudan diri melalui kekayaan. Atas dasar itulah diantaranya, maka Peter Berger dalam Revolusi Kapitalis (1990) berani bertaruh bahwa masa depan ekonomi dunia berada dalam genggaman kapitalisme.

Ketiga, kreativitas budaya kapitalisme dan kapasitasnya menyerap ide-ide serta toleransi terhadap berbagai pemikiran. Menurut Rand, kebebasan dan hak individu memberi ruang gerak manusia dalam berinovasi dan berkarya demi tercapainya keberlangsungan hidup dan kebahagiaan. Dengan dasar pemikiran ini, Bernard Murchland dalam Humanisme dan Kapitalisme (1992) dengan penuh keyakinan menaruh harapan bahwa kapitalisme demokratis adalah humanisme yang dapat menyelamatkan peradaban manusia di masa depan.

  1. Kelemahan Kapitalisme

Setiap hal tentu tidak hanya mempunyai kelebihan saja. Tidak ada gading yang tidak retak, oleh sebab itu kapitalisme juga mempunyai problematikanya sendiri sehingga kadang mengalami kendala untuk diterpakan. Mengacu kepada asumsi-asumsi dasar kapitalisme, klaim-klaim pendukung kapitalisme dan praktek kapitalisme, terdapat beberapa kelemahan mendasar kapitalisme, antara lain;

Pertama, pandangan epistemologinya yang positivistik mekanistik. Positivisme yang memisahkan fakta dan nilai, bahkan hanya terpaku pada apa yang disebut fenomena fakta dan mengabaikan nilai, terbukti sudah ketidakmampuannya menjelaskan perkembangan sains modern dan kritikan dari fenomenologi hermeneutik (human sciences). Pola pikir positivistik hanya satu dimensi, yaitu dialektika positif, yang pada gilirannya mereduksi kemampuan refleksi kritis manusia untuk menari makna-makna tersembunyi di balik fenomena-fenomena. Herbert Marcuse dalam One Dimensional Man (1991) berkata: "... Kapitalisme, yang didorng oleh teknologi, telah mengembang untuk mengisi semua ruang sosial kita; telah menjadi suatu semesta politis selain psikologis. Kekuasaan totalitarian ini mempertahankan hegemoninya dengan merampas fungsi kritisnya dari semua oposisi, yaitu kemampuannya berpikir negatif mengenai sistem, dan dengan memaksakan kebutuhan-kebutuhan palsu melalui iklan, kendali pasar, dan media. Maka, kebebasan itu sendiri menjadi alat dominasi, dan akal menyembunyikan sisi gelap irasionalitas..."

Kedua, berkaitan dengan yang pertama, asumsi antropologis yang dianut kapitalisme adalah pandangan reduksionis satu dimensi manusia yang berasal dari rasionalisme Aufklarung. Temuan alam bawa sadar psikoanalisis menunjukkan bahwa banyak perilaku manusia tidak didorong oleh kesadaran atau rasionalitas, melainkan oleh ketidaksadaran dan irasionalitas. Asumsi kapitalisme yang mengandaikan bahwa distribusi kekayaan akan terjadi dengan sendirinya bila masyarakat telah makmur (contoh: konsep trickle down effect) melupakan aspek irasionalitas manusia yang serakah dan keji. Dorongan yang tidak pernah puas menumpukkan kapital sebagai watak khas kapitalisme merupakan bentuk patologis megalomania dan narsisisme.

Ketiga, keserakahan mengakumulai kapital berakibat pada eksploitasi yang melampau batas terhadap alam dan sesama manusia, yang pada gilirannya masing-masing menimbulkan krisis ekonologis dan dehumanisasi. Habermas (1988) menyebutkan kapitalisme lanjut menimbulkan ketidakseimbangan ekologis, ketidakseimbangan antropologis (gangguan sistem personaliti), dan ketidakseimbangan internasional.

Keempat, problem moral. Bernard Murchland (1992), seorang pembela gigih kapitalisme, mengakui bahwa masalah yang paling serius yang dihadapi kapitalisme demokratis adalah pengikisan basis moral. Ia lalu menoleh ke negara-negara Timur yang kaya dengan komponen moral kultural. Atas dasar problem etis inilah, maka Mangunwijaya (1998) dengan lantang berkata: "... ternyatalah, bahwa sistem liberal kapitalis, biar sudah direvisi, diadaptasi baru dan diperlunak sekalipun, dibolak-balik diargumentasi dengan fasih ilmiah seribu kepala botak, ternyata hanya dapat berfungsi dengan tumbal-tumbal sekian milyar rakyat dina lemah miskin di seluruh duia, termasuk dan teristimewa Indonesia...."

Kelima, implikasi dari praktek mengkomoditikan segenap ide-ide dan kegiatan-kegiatan sosial budaya, maka terjadilah krisis makna yang pada gilirannya menimbulkan krisis motivasi. Habermas (1988) mengatakan bahwa pada tataran sistem politik, krisis motivasi ini menimbulkan krisis legitimasi, atau menurut istilah Heilbroner (1991) dengan krisis intervensi.

  1. Kebudayaan Masyarakat

Kebudayaan sebagai hasil karya, cipta dan rasa manusia dalam perjalanan sejarahnya dimulai dari yang paling sederhana, berkembang dan maju terus setahap demi setahap sampai pada yang kompleks dan modern seperti pada akhir abad ke XX sekarang ini. Kebudayaan yang bertambah maju secara akumulatif, mutunya semakin meningkat, sehingga didalamnya sering ditemui unsur- unsur kebidayaan yang statis disamping yang bersifat dinamis. Kebudayaan itu berpengaruh langsung pada kehidupan individu dan masyarakat dalam mewujudkan eksistensinya masing-masing. Pengaruh budaya dan agama secara bersama-sama membentuk system nilai yang mewarnai sikap mental dan membatasi tingkah laku individu dan kelompok.

Indonesia merupakan sebuah negara yang subur dimana hamparan sawah yang menghijau, sumber daya alam yang melimpah serta penduduk yang dikenal sangat ramah terhadap sesama dan orang asing. Mungkin kita masih ingat pada zaman dahulu dimana di dalam sebuah wilayah terdapat sekelompok penduduk yang hidup dengan baik dan saling membantu. Apabila ada masalah maka para penduduknya akan duduk bersama untuk mendiskusikan pemecahan tersebut. Nilai-nilai keluhuran budaya yang telah lama diturunkan sejak nenek moyang kita ada begitu terasa. Para penduduk giat bekerja dan para pemuda tidak diam dalam membangun negeri kita ini.

Mungkin itu bisa sekadar menjadi tapak tilas kita terhadap keadaan masa lalu yang mungkin kini hanya dapat kita temui didaerah terpencil di nusantara. Saat dimana nilai kekeluargaan begitu memegang peranan penting hampir dalam setiap aspek kehidupan masyarakat. Salah satu bukti adanya peran kekeluargaan dalam bentuk gotong royong ialah candi borobudur. Candi terbesar didunia dan merupakan salah satu keajaiban dunia. Sebuah bangunan yang dibuat secara gotong-royong oleh masyarakat setempat sehingga menghasilkan bangunan yang kokoh yang dapat bertahan hingga saat ini. Tolong menolong sesama penduduk adalah pemandangan wajar pada masa itu. Nilai-nilai adat dipegang dengan kuat yang disertai dengan adanya sanksi yang tegas yang diterapkan terhadap pelaku.

Nilai-nilai itulah yang dijadikan pedoman yang berlaku atau kadang menjadi dasar hukum yang berlaku di tempat tersebut. Nilai-nilai tersebut kemudian berkembang menjadi suatu budaya yang berlaku secara umum terhadap semua kalangan di tempat tersebut. Budaya yang telah mengakar dan menjiwai hampir seluruh bangsa indonesia, mungkin lebih terasa ketika zaman kemerdekaan dahulu. Seluruh bangsa, mulai dari tua-muda, besar-kecil, tanpa ada suatu pengecualian, bersama-sama bekerja untuk mendapatkan kemerdekaan walupun nyawa mereka sendiri yang menjadi taruhannya.

Sikap tersebut tumbuh secara pasti didalam setiap jiwa para pahlawan kita dahulu. Mungkin kita bisa mengutip motto para penjaga kerajaan di Prancis ”All for one and One for All” sehingga melahirkan suatu mental rasa kebersamaan diantara para pejuang kita. Mereka tidak memandang siapa yang maju berjuang bersama mereka karena yang mereka tahu ialah kemerdekaan itu merupakan milik bersama dan harus diperjuangkan bersama-sama oleh setiap komponen masyarakat secara luas.

Budaya sopan santun juga begitu kental didalam kehidupan kita, dimana adanya penghormatan kepada orang yang lebih tua, mungkin dengan adanya panggilan khusus, misalnya, abang, kakak, mas, dan sebagainya. Menjaga tutur bahasa yang santun, cara berperilaku, cara bergaul dana lainnya banyak ditanamkan kepada kita , yang walau menurut banyak anak muda sekarang dianggap uzur atau malah kampungan karena terlalu mengekang kebebasan mereka untuk berekspresi. Sabar dan juga toleransi yang tinggi kepada sesama kita, sikap peduli dan pengertian terhadap lingkungan sekitar kita juga telah lama dibiasakan oleh orangtua kita sejak kecil.

Banyak hal positif yang kita dapat didalam kehidupan kita yang sesuai dengan nilai-nilai luhur kebangsaan kita. Termasuk juga nilai-nilai konseptual agama yang berlaku menurut kepercayaan penduduk, untuk melakukan hal yang benar dan menjauhi segala perbuatan yang dilarang. Nilai-nilai sosial budaya kita tidak hanya berasal dari diri kita sendiri namun juga diperkaya oleh adat istiadat dan kepercayaan kita kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Hal-hal yang diatas mungkin oleh banyak orang dimasa kini beranggapan mustahil untuk terjadi, padahal hal itu dapat terwujud apabila semua pihak mau utnuk melakukannya. Penduduk zaman dahulu begitu percaya kepada raja mereka, sehingga apa yang dikatakan raja mereka akan mereka lakukan, karena mereka percaya raja tidak akan pernah menelantarkan rakyatnya menuju kesengsaraan. Sehingga pada dasarnya mereka akan melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan dengan tidak melanggar hak atau kewajiban orang lain.

Keadaan inilah yang menjadikan bangsa Indonesia sebagai suatu bangsa yang begitu bersahaja, sederhana namun mempunyai daya tariknya sendiri, sehingga mampu membuat bangsa lain terpesona oleh keindahannya.

  1. Dampak Kapitalisme

Indonesia adalah negara dunia ketiga yang menyusun pola pembangunan nasionalnya bersamaan dengan perkembangan teori-teori pembangunan yang berlangsung di negara-negara maju. Pada sisi lain, Indonesia adalah juga warga dunia yang tak dapat menghindarkan diri dari pengaruh kapitalisme global. Karena itulah politik ekonomi yang dipakai di Indonesia diwarnai oleh struktur kapitalisme dunia, termasuk dalam pembangunan pertaniannya. Melalui analisis ekonomi politik pembangunan, dapat dijelaskan bagaimana Indonesia berada pada posisi pinggiran dalam sistem kapitalisme dunia. Hal ini karena Indonesia sangat menggantungkan diri pada pembangunan pertanian, setidaknya secara psikologis dan politik. Selain karena faktor makro struktural, lemahnya ekonomi ini disebabkan oleh karena sistem yang secara teknologi dan sumber daya manusia yang tidak kurang berkualitas.

Keadaan ini juga telah terjadi di dalam masyrakat. Banyak terjadi pergeseran nilai-nilai budaya yang baik secara langsung maupun tidak langsung berdampak kepada kelestarian budaya kita. Saat ini boleh dikatakan kita hampir memasuki era globalisa dimana masyarakatnya cenderung untuk lebih giat bekerja supaya memenuhi kebutuhannya.

Di kota-kota besar banyak berdiri perumahan, pusat perbelanjaan, pusat rekreasi dan lain sebagainya. Banyak kemudahan yang diberikan, namun kemudahan itu haruslah didapat dengan pengorbanan. Tidak mungkin seseorang dapat membeli sesuatu tanpa adanya uang. Oleh sebab itu masyarakat akan lebih lagi untuk mencapai penghasilan untuk memenuhi kebutuhannya tersebut. Budaya ini melahirkan budaya Konsumtif yang sebenarnya tidak sesuai dengan kepribadian bangsa kita. Masyarakat cenderung untuk menghabiskan uangnya hanya untuk bersenang-senang. Pemenuhan kebutuhan bukan saja menjadi keharusan bahkan menjadi lifestyle di hampir semua penduduk di kota besar.

Hal ini juga di dukung adanya sarana dan prasarana yang cukup memadai di kota tersebut. Lifestyle tersebut menciptakan manusia-manusia yang Hedonis dimana mereka cenderung untuk mengejar kesenangan duniawi daripada sorgawi. Gaya hidup bermewah-mewahan, tidak peduli dengan keadaan sekitar dan lain sebagainya sudah biasa terjadi dikota-kota besar, sebut saja Jakarta, dimana masyarakat yang heterogen dan selalu sibuk dengan aktifitasnya masing-masing menciptakan kaum egoistik dan cuek.

Sifat-sifat itulah yang juga terjadi dihampir semua kota besar yang menganut sistem kapitalisme. Seseorang hanya akan dianggap apabila ia mempunyai seseuatu yang lebih banyak daripada orang lain, misalnya kekayaan, mobil, uang, jabatan dan lainnya. Ini cukup membahayakan karena akan menciptakan generasi yang tidak perduli terhadap lingkungan dan sesamanya.

Jakarta bisa menjadi contoh dimana terjadi pergesaran budaya yang mungkin disebabkan gaya hidup kapitalis yang berkembang di kota ini. Kita bisa melihat masyarakat yang sibuk dengan pekerjaannya, cenderung unuk mengabaikan lingkungan sekitarnya, bahkan juga terlalu sibuk untuk mengurus keluarganya. Banyak keluarga yang broken home terjadi disini, dimana kejadian serupa juga banyak terjadi dikota besar di Amerika. Hal ini juga akan merembet kepada keharmonisan keluarga. Yang dicari hanyalah uang..uang...dan uang...sehingga mengabaikan keluarga mereka sendiri.

Gaya hidup yang hedonis juga masuk kedalam para pemuda sekarang. Mereka berlomba-lomba untuk bergaya seperti artis idola mereka, memakai pakaian bermerek yang sering diiklankan di tv atau juga banyak hadir di pusat-pusat perbelanjaan. Bagi mereka yang tidak mengikuti trend tersebut akan dikatakan kuno, ketingalan zaman atau engga gaul.

Kehidupan pemuda zaman sekarang juga penuh dengan intrik, yang kadang malah tidak sesuai dengan posisi mereka sebagai pemuda. Pemuda sekarang cenderung hedonis, lebih mengutamakan ”gaul” daripada berpikir untuk mebangun bangsa.

Keadaan ini cukup mengkhawatirkan mengingat pemuda adalah ujung tombak dari perjalanan suatu bangsa. Apa jadinya suatu bangsa yang pemudanya malah sibuk pcaran, bergaya, ikuti trend, pakai narkoba, dan kebiasaan jelek lainnya. Bisa jadi bangsa ini tinggal akan menunggu kehancurannya sendiri apabila tidak ada perubahan yang terjadi didalam masyarakat.

Para pemuda begitu bangga dikatakan sebagai ”anak nongkrong MTV yang gaul dan keren”. Coba tanyakan kepada para pemuda dikota besar, mana yang akan mereka pilih, membantu orang yang kebanjiran atau menonton konser artis di tv. Bisa jadi kebanyakan akan memilih pilihan kedua sebab pilihan yang pertama akan menyusahkan mereka.

Budaya ini bukan semata-mata terjadi di pemuda. Para orang tua juga terlihat bagaimana di kota besar , mungkin karena terlalu banyak problematika yang terjadi mereka melakukan hal-hal yang aneh, mulai dari kebiasaan korupsi, bermewah-mewahan dan juga kebiasaan lainnya yang menyimpang dari fungsi mereka sebagai pendidik.

Pengaruh kapitalisme juga telah masuk hingga di desa terpencil. Masyrakat disana juga mulai terpengaruh dengan godaan kemewahan yang ditawarkan oleh kapitalisme. Mereka mulai mencoba barang-barang elektronika secara berlebihan, seperti seorang siswa smp membeli handphone yang harganya diatas 3 jutaan padahal ia juga tidak mengerti fungsinya. Pembelian tersebut dilakukan hanya untuk menunjukkan keberadaanya di lingkungan ia tinggal, sehingga ia akan disegani dan mempunyai banyak teman. Permasalaha inilah yang menjadi dasar pemikiran kenapa masyarakat akan cenderung tidak perduli terhadap lingkungannya. Mengutip teori Maslow, dimana manusia butuh penghargaan untuk menunjukkan eksistensinya maka ia harus mengikuti trend walaupun ia tidak mampu untuk mengikutinya.


Kesimpulan

Kapitalisme merupakan suatu sistem perekonomian dimana modal memegang peranan penting. Kapitalisme tidak hanya terjadi di bidang ekonomi namun juga di bidang sosial.

Kelebihan kapitalisme antara lain:

  1. Daya adaptasi dan transformasi kapitalisme yang sangat tinggi, sehingga ia mampu menyerap dan memodifikasi setiap kritik dan rintangan untuk memperkuat eksistensinya.
  2. Adanya dorongan untuk berkuasa dan perwujudan diri melalui kekayaan
  3. Kreativitas budaya kapitalisme dan kapasitasnya menyerap ide-ide serta toleransi terhadap berbagai pemikiran

Kekurangan kapitalisme antara lain:

1. Merampas fungsi kritisnya dari semua oposisi,

2. Asumsi kapitalisme yang mengandaikan bahwa distribusi kekayaan akan terjadi dengan sendirinya bila masyarakat telah makmur

3. Keserakahan mengakumulai kapital berakibat pada eksploitasi yang melampau batas terhadap alam dan sesama manusia

4. Problem moral

Globalisasi mau tidak mau manghantarkan masuknya kapitalisme kedalam budaya bangsa kita. Pergeseran nilai-nilai budaya merupakan hal yang pasti terjadi. Budaya kita akan dipastikan juga terbawa arus kapitalisme yang banyak terjadi di kota-kota besar saat ini. Kapitalisme walaupun akan berdampak buruk bagi kehidupan sosial bangsa kita akan tetapi kita terpaksa harus menerima konsekuensinya sebagai indikasi masuknya globalisasi kedalam kehidpan masyarakat.

Problem moral yang akan diciptakan oleh kapitalisme telah menciptakan ekses yang negatif didalam kehidupan masyarakat misalnya, hedonisme, materialisme, egoisme, dan sifat-sifat buruk lainnya yang menciptakan masyarakat yang berbeda kulturnya dengan kehidupan masyrakat di zaman dulu.

Ekses negatif inilah yang harus ditanggulangi secara benar oleh semua pihak agar jangan samapai bangsa ini kehilangan jati dirinya sebagai bangsa yang beradab dan terkenal dengan ethnimologi yang beragam dan jiwa kebersamaan khas dunia timur tetap tertanam dalam kehidupan masyarakat kita.

0 komentar: